Dalam sebuah buku yang berjudul “Child
Psychiatry “, termuat hasil penelitian terhadap sejumlah anak yang mengalami
kesulitan dalam belajar di sekolah, juga mengalami kesulitan dengan
teman-temannya dalam pergaulan. Salah satu kasus seorang anak memperlihatkan
ekspresi wajah kurang gembira. Ia terlihat lebih banyak murung dan menyendiri.
Ia lamban sekali menjawab pertanyaan. Angka-angka yang dicapainya di sekolah
kurang dari cukup. Ibu anak itu sedih dengan keadaan anaknya yang demikian.
Dari ibu anak itu diperoleh beberapa keterangan. Keterangan
pertama adalah bahwa anak itu ternyata belum cukup umur ketika dimasukkan
sekolah. Sebenarnya hal tersebut tidak terlalu menentukan. Keterangan kedua
ialah bahwa ayah itu adalah seorang lelaki bertipe kasar, sering marah-marah,
terlalu galak terhadap istri dan anaknya. Bersikap kasar, sering dia
perlihatkan terhadap si anak. Akibatnya anak itu sering merasa tegang di bawah
ancaman dan sikap kasar ayahnya. Situasi inilah kemudian menyebabkan
perilakunya di sekolah menjurus kurang normal. Ia suka menyendiri. Terhadap
guru lelaki, terutama yang mirip dengan ayahnya, ia merasa takut. Melihat
lelaki dengan profil seperti ayahnya membuat ambang bawah sadarnya teringat
akan figur ayah berikut kekejamannya.
Kasus lain adalah seorang guru yang sering kesal melihat
kenakalan seorang anak lelaki berusia enam tahun. Ia sulit diatur. Berkali-kali
guru memperingatkannya agar tenang dan tidak menganggu teman-temannya. Tetapi
ia tidak memperdulikannya. Sering ia merebut dan memakan bekal makanan
teman-temanya, memperlakukan teman-temanya sebagai pesuruhnya dan berbagai
sikap lain yang menjengkelkan yang kadang-kadang berakhir dengan perkelahian.
Setelah diselidiki, ternyata kedua orangtuanya memperlakukan anak itu dengan
sikap manja berlebihan. Orang tua mendidik si anak dirumah dengan cara memenuhi
segala keinginannya. Mereka kurang menyadari bahwa dampak negatif cara mendidik
yang keliru di rumah, menyebabkan perilaku si anak di sekolah sangat
menjengkelkan guru, maupun teman-temannya.
Ahli psikologis dan ahli pendidikan hampir sependapat, bahwa
sikap dan cara orang tua mendidik anak di rumah, mempengaruhi perilakunya di
sekolah. Anak yang ada di rumah memperoleh pendidikan yang tepat dan benar
serta baik, umumnya akan memperlihatkan sikap dan perilaku yang normal di
sekolahnya. Ia dapat bergaul baik dengan temannya. Ia mungkin bukanlah murid
yang menarik bagi temannya, tetapi setidak-tidaknya, kehadirannya di lingkungan
sekolah tidak menjengkelkan. Cara mendidik anak yang tidak edukatif, dapat
menimbulkan dampak negatif, antara lain termanifestasi di dalam pergaulan anak
di sekolahnya. Sebuah nasehat bijak dalam hal ini ialah. “Jika Anda tidak ingin
anak anda mengalami kesulitan dan hambatan di lingkungan sekolahnya, berikanlah
mereka pendidikan yang tepat di rumah.”
Cuplikan cerita diatas dengan jelas menyatakan bahwa ada
kaitannya perilaku anak di luar rumah (dalam hal ini sekolah) dengan pola asuh
di rumah. Pola asuh anak di rumah oleh
orangtua mereka atau pun oleh keluarganya, sangat menentukan kepribadian
anak. Jauh sebelumnya Rasulullah SAW
menyatakan bahwa: “Anak-anak itu dilahirkan dalam keadaan suci bersih, kedua
orangtuanya lah yang menjadikan mereka Majusi, Yahudi, atau Nasrani”. Statemen
rasul ini bertemu faktanya yang salah satunya adalah petikan cerita diatas. Orang sekarang seolah melihat fakta baru
bahwa ada keterkaitan antara pola asuh di rumah dengan perilaku anak diluar
rumah. Dalam pembahasan psikologi,
melalui penelitian seperti diatas, baru ditemukan kaitannya. Tetapi Islam, melalui lisan Rasulnya telah
memberitakan itu jauh sebelum ilmu psikologi itu ada. Oleh sebab itu,kita sebagai orangtua harus
sangat hati-hati dalam merencanakan dan melakukan pendidikan dan pengasuhan
anak di rumah. Karena rumah khususnya
ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.
“Al-ummu madrosatul aula”.
Adapun terkait anggapan bahwa perangai orangtua (apakah baik
ataupun buruk) bisa diwariskan pada anak-anak, atau dengan kata lain
perangai/sifat itu merupakan gen yang bisa diturunkan adalah pernyataan yang
tidak benar.
Pertama, secara faktual ada kisah dalam sebuah majalah,
seorang ayah yang mencari nafkah keluarganya dengan cara mencopet dan
menjambret. Istri dan anak-anaknya tidak
mengetahui bahwa suami atau ayah mereka berprofesi seperti itu. Mereka akhirnya tahu setelah anak-anak dewasa
dan mereka bersekolah bahkan ada yang sampai mengecap bangku perguruan
tinggi. Ini menunjukkan bahwa perilaku
orangtua bukan sifat yang bisa diwariskan.
Kedua, lain halnya bila ayah mengajak anaknya untuk
melakukan hal serupa. Hingga
anak-anaknya mempunyai profesi yang sama dengan ayahnya. Ini bukan persoalan gen tetapi merupakan
pemikiran/pemahaman keliru yang diwariskan pada anak-anaknya. Lain hal dengan kondisi pertama dia tahu
bahwa mencuri itu tidak benar, tetapi ia sangat ingin anak-anaknya sukses dan
tidak mengikuti sepak terjang ayahnya.
Ketiga, Islam melarang perbuatan jahat, bila seseorang
melakukan kejahatan itu disebabkan ia tidak tahu bahwa Islam melarangnya (jadi
ini faktor kebodohan/jahil), atau ia tahu itu perbuatan jahat tetapi ia lalai
untuk terikat dengan aturan karena lemahnya kesadaran, atau karena ia kalah
melawan godaan syaithan. Jadi seseorang
melakukan kejahatan bukan karena keturunan atau sifat yang diwariskan.
Ada lagi ungkapan lain bahwa buah itu tidak jatuh jauh dari
pohonnya. Ungkapan ini banyak dipakai dalam khasanah pendidikan
orangtua.Ungkapan para orangtua dulu boleh jadi ada benarnya, bahwa bisa saja
anak itu mempunyai perilaku yang tidak berbeda jauh dengan orangtuanya. Jika orangtuanya baik, anaknya tentu akan
baik. Jika orangtua buruk perangainya,
maka anaknya juga tidak akan jauh berbeda.
Boleh jadi ungkapan ini dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap Islam. Yaitu bahwa orangtua yang baik akan mengajari
anak-anak mereka dengan kebaikan.
Sebaliknya, orangtua yang buruk tentu akan memberi contoh buruk kepada
anak mereka dan ini akan mempengaruhi perilaku anak. Hanya saja ini bukan masalah faktor genetis
atau bukan. Melainkan masalah pola
pengasuhan anak terhadap anak-anak mereka.
Untuk ini diperlukan kesadaran yang tinggi pada orangtua tentang
pendidikan dan pengasuhan anak.
Dalam konsep perbuatan manusia, Islam menjelaskan bahwa ada
imbalan untuk perbuatan baik dan ada balasan untuk perbuatan yang buruk.
Perbuatan baik akan mendapat pahala dan kemudian nanti mereka berhak untuk
tinggal di surga sebagai tempat kembali yang terbaik. Sedangkan perbuatan yang buruk akan dibalas
dengan siksa dan bila tidak segera bertaubat, pelakunya akan masuk ke
neraka. Begitupun dalam proses pendidikan
anak, Islam mengenalkan bagaimana pendidik harus memberi reward (pujian,
imbalan, penghargaan) dan juga punishment (kritikan, sanksi) kepada anak didik
sesuai jenis perbuatannya. Pendekatan
ini merupakan pendekatan kealamiahan yang sesuai dengan karakteristik manusia.
Jadi, berilah anak-anak itu kabar gembira dan
peringatan. Untuk apa? Tentu kabar
gembira dapat menjadi motivasi bagi mereka untuk selalu mengerjakan
kebaikan. Dan peringatan tentu saja agar
mereka menghindari perbuatan yang tidak baik.
Pemberian pujian dan teguran tentu saja menyesuaikan dengan usia
anak. Sebelum nalar atau daya cerna
informasinya jalan, mereka dominan dengan isyarat atau visualisasi yang
menunjukkan pujian atau celaan.
Maksudnya adalah, jangan sampai anak tidak bisa membedakan antara marah
dan tidaknya orangtua. Karena
orangtuanya tidak pernah marah, akhirnya dia tidak tahu mana perbuatan dia yang
baik dan mana yang tidak. Begitupula
bila orangtua lebih dominan marah, maka anak tidak tahu sebenarnya perbuatan seperti
apa yang disebut baik itu. Baik dan
buruk seperti tidak ada bedanya. Padahal
pada masa itulah si anak menerima pembelajaran tentang baik buruknya suatu
perbuatan.
Bagaimana orangtua mengenalkan nilai-nilai perbuatan itu
baik atau buruk yang paling mendasar adalah orangtua mempunyai visi dalam
mendidik anak. Kemudian visi ini akan
diwujudkan dengan strategi yang tepat.
Pertama, tentu dengan contoh (uswah), orangtua harus
melakukan perbuatan baik yang diperintahkan Allah SWT. Orangtua melakukan hal ini dengan tujuan
mengajari anak untuk melakukan hal tersebut.
Jangan sesekali melakukan perbuatan yang dilarang tanpa disertai
pembetulan atau ralat, saat anak kita mengingatkan. Bila kita terlanjur melakukan perbuatan tidak
baik di depan anak-anak, jangan tunda waktu untuk segera menjelaskan dan
memberi pengertian serta meminta maaf.
Walhasil, pendekatan dengan contoh ini memerlukan kesadaran yang ekstra.
Kedua, dengan pembiasaan.
Biasakan kita menentukan objektif dalam segala hal yang terkait pendidikan
dan pengasuhan anak. Objektif tertinggi
orangtua adalah menghendaki anaknya menjadi anak sholih, taat pada Allah dan
Rasulnya, berbakti pada orangtua dan berguna bagi umat. Untuk menuju kesana
tentunya melewati berbagai tahapan.
Setiap tahapan tentunya mempunyai rincian apa yang hendak
dilakukan. Untuk itu objektif nya pun
berlainan dalam setiap tahapan. Seperti
bagaimana agar anak menjadi anak yang berbakti pada orangtua. Gambaran anak berbakti harus dimiliki oleh
orangtua, kemudian dia menentukan cara supaya anaknya bisa seperti itu. Ada tahapan yang dilalui dan setiap tahapan
mempunyai target sendiri-sendiri. Contoh, bagaimana agar anak mandiri dalam
mengurusi keperluan sekolahnya, mulai dari membereskan buku, menyiapkan pakaian
seragam sekolahnya, dsb. Targetnya anak
mandiri dan disiplin terhadap tugasnya.
Secara teknis orangtua akan membuatkan jadwal kegiatan anak sehari-hari,
mulai dari bangun pagi hingga malam menjelang istirahat. Sepanjang waktu itu apa saja yang akan
dikerjakan anak, dan apa yang menjadi target dari aktivitas tersebut. Tentunya semua ini memerlukan kesungguhan dan
kesabaran dari pihak orangtua. Karena
yang akan kita bentuk adalah pola hidup atau kebiasaan.
Ketiga, pendekatan persahabatan. Senantiasa mengkomunikasikan apapun yang
menjadi harapan dan keinginan orangtua. Gambarkan filosofis (dasar) dari sebuah
perbuatan yang dituntun oleh syariah Islam.
Narasumber: Ir. Ratu Erma Rahmayanti, mediaislamnet.com
0 komentar :
Post a Comment