Tugas Mendidik Generasi Unggulan
Pendidikan merupakan unsur terpenting dalam proses perubahan
dan pertumbuhan manusia. Perubahan dan pertumbuhan kepada yang lebih baik
membutuhkan pendidikan yang “baik” pula. Pendidikan yang “baik” akan
menghasilkan “output” yang baik. Untuk misi membangun Umat Islam, salah satu
tugas yang diemban oleh Rasulullah saw adalah ta’lim (mendidik).Firman Allah
berbunyi: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah)”. (QS. Al Jumu’ah: 2).
Dari pendidikan yang dilakukan Rasulullah Saw. lahir
pribadi-pribadi unggul sebagai output, yang kemudian pada akhirnya membentuk
peradaban unggul ketika itu.
Umat Islam diproyeksikan untuk menjadi pemimpin peradaban.
Sebagai Umat yang menebar kebaikan bagi sekalian alam. Sebuah misi yang tidak
ringan dan membutuhkan pribadi-pribadi unggulan. "Kalian adalah Umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS. Ali
Imran: 110).
Upaya untuk menghasilkan pribadi-pribadi Muslim unggulan
merupakan tanggungjawab kita semua sebagai Umat Islam. Merupakan tanggungjawab
setiap pihak, apakah lembaga pendidikan, keluarga orang tua, sosial, dan
seterusnya.
Orang tua adalah pihak yang paling berperan dan
bertanggungjawab dalam pendidikan anak-anak mereka agar menjadi pribadi-pribadi
unggul. Anak yang saleh akan menjadi amal jariah bagi kedua orang tuanya.
Betapa besar pahala yang diraih lantaran kesalehan atau bahkan kontribusi anak
bagi masyarakat dan agamanya yang juga akan berbuah pahala bagi kedua orang
tuanya.
Realitanya, seringkali terdapat berbagai kendala dalam upaya
pendidikan anak. Mulai dari kendala finansial, kendala lingkungan sosial atau
bahkan kendala keluarga. Diantara kendala yang bisa merusak pendidikan anak
adalah kendala lingkungan dalam berbagai bentuknya. Di era informasi ini
siapapun dengan sangat mudah untuk mengakses informasi lewat berbagai sarana.
Media cetak dan elektronik sedemikian menggurita. Media bisa lebih efektif dan
berhasil dalam mendidik anak-anak kita, baik pendidikan positif ataupun
sebaliknya. Media mendidik cara berfikir, gaya hidup, cara bergaul dan
seterusnya.
Permasalahannya adalah jika anak-anak kita dididik oleh
media dengan berbagai materi negatif dan destruktif. Mengarahkan pemikiran,
gaya hidup dan seterusnya ke arah negatif dan menyimpang dari Islam. Media
merupakan salah satu sarana perang pemikiran (alghazwu alfikry) musuh-musuh
Islam untuk melumpuhkan Umat ini. Dan sarana ini efektif bagi mereka.
Lingkungan yang berarti teman dan komunitas bergaul juga
bisa mempengaruhi pendidikan anak kita. Rasulullah Saw menjadikan sahabat
sebagai pihak yang bisa mempengaruhi moral dan kebiasaan seseorang. Sabdanya
berbunyi: “Seseorang itu tergantung kepada kebiasaan cara hidup dan akhlak
sahabatnya, maka setiap kalian perhatikanlah siapa teman yang digaulinya”. (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi).
Persahabatan dan pergaulan bisa mempengaruhi seseorang
sebagaimana pepatah Arab: Siapa yang berteman dengan tukang minyak wangi Ia
bisa mendapatkannya cuma-cuma, dan siapa berteman dengan tukang besi, ia akan
kecipratan baunya.
Keteladanan Pendidikan Anak
Ismail seorang anak yang menjadi tauladan sepanjang sejarah
dalam ketaatan kepada Allah SWT dan orang tua. Kisah yang sangat masyhur,
ketika Ibrahim as. sang bapak, bermaksud menyembelihnya atas perintah Allah
SWT, ia merespon dengan jawaban kesiapan dan ketaatannya. Begitulah ketaatan
dan kesalehan Ismail menjadi bukti bermutunya pendidikan yang diberikan sang
ayah, Ibrahim as. Metode pendidikan ala Ibrahim dirumuskan dalam sebuah doa
yang beliau ucapkan ketika akan meningalkan istri dan anaknya di lembah yang
tandus. Beliau as berdoa kepada Allah SWT: “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku
telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai
tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati
sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. (QS. Ibrahim: 37).
Ada beberapa nilai luhur yang bisa kita gali dari firman
Allah SWT lewat lisan Nabi Ibrahim as. terkait persepsi dalam mendidik anak.
Pertama, Nabi Ibrahim tahu betul bahwa beliau meninggalkan
anak dan istrinya di lembah yang tandus tanpa makanan. Dalam kondisi tersebut,
permohonan yang pertama kali diminta menurut logika umum adalah agar mereka
dianugerahkan rizki yang bisa membuat mereka tetap hidup. Namun permohonan
pertama yang diminta Nabi Ibrahim as adalah agar mereka mendirikan shalat. Dan
orang yang mendirikan shalat dengan sebebnarnya adalah orang bertaqwa yang
telah dijamin Allah SWT.“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya”. (QS. Athalaq: 2-3).
Sama halnya, ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz dinasehati
agar mengumpulkan hartanya dalam masa yang cukup untuk diberikan kepada
anak-keturunannya. Umar menolak nasehat itu dan berkata: “Jika seandaninya
mereka (anak cucuku) adalah orang yang bertakwa, maka sesungguhnya Allah SWT
yang akan menanggung rizkinya., dan jika mereka orang-orang yang fasik maka aku
tidak akan membantu mereka dalam kefasikannya dengan harta yang aku wariskan“.
Kedua, permohonan Ibrahim as selanjutnya juga bukan berupa
rezeki yang berbentuk materi, namun beliau memohon agar anak, istri serta
cucu-cucu beliau kelak menjadi orang yang dicintai manusia. Permohonan yang
begitu mulia, dan permohonan mulia seperti itu hanya bisa dicapai dengan akhlak
yang mulia. Akhlak yang menentukan seseorang dibenci atau dicintai.
Ketiga, pada petikan doa yang terakhir Nabi Ibrahim memohon
rezeki dalam bentuk materi. “beri rezekilah mereka dari buah-buahan agar mereka
bersyukur”. (QS. Ibrahim: 37). Namun permohonan ini tidak untuk tujuan mereka
kaya materi, tetapi lebih daripada itu agar mereka mampu bersyukur. Bukan
kekayaan yang menyebabkan mereka lupa dan kufur.
Dari pendidikan Ibrahim as bisa dipahami bahwa orientasi
dalam pendidikan anak bukan semata karena materi yang akan diraih. Bukan karena
“akan kerja dimana setelah lulus”, atau “dapat posisi apa nanti”. Maka dalam
orientasi pendidikan anak perlu keseimbangan antara aspek ilmu pengetahuan dan
akhlak.
Pendidikan yang pertama kali diberikan kepada anak adalah
pendidikan akidah, ibadah dan akhlak. Pendidikan ini menurut imam Gazali
hukumnya fardhu ‘ain, setiap Muslim harus menadpatkannya. Adapun pendidikan
yang bersifat skill dan ketrampilan Duniawi yang selanjutnya berbentuk profesi
seperti dokter, insinyur dan sebagainya hukumnya fardhu kifayah. Seorang Muslim
boleh berprofesi apa saja, namun ia harus terlebih dahulu menjadi Muslim yang
sebenarnya, yang memiliki akidah, ibadah dan akhlak yang baik dan tidak
menyimpang adri ajaran Islam.
Pendidikan yang Integral
Pendidikan manusia sejatinya bersifat integral. Tidak ada
terjadi ketimpangan antara satu aspek dengan yang lainnya. Kita pernah mengenal
konsep IMTAK dan IPTEK yang merupakan sebuah upaya integrasi untuk menghasilkan
SDM unggulan. Unggul secara moral spiritual maupun sains dan teknologi.
Keterpaduan dalam pendidikan seperti ini bila berjalan dengan baik akan mampu
menghasilkan orang-orang pintar yang baik, atau orang-orang baik yang pintar. Dua
tipe inilah yang diharapkan mampu menebar rahmat kebaikan. Dan dua tipe ini
secara tersirat adalah harapan dalam doa yang seringkali kita baca: “Ya Allah
karuniakanlah kami kebaikan baik di Dunia maupun di Akhirat”.
Mendapat kebaikan di Dunia dengan kepintaran, dan mendapat
kebaikan di Akhirat dengan ketakwaan.Banyak orang pintar yang tidak baik atau
orang baik yang tidak pintar. Dua tipe ini sulit diharapkan untuk bisa menebar
kebaikan dan manfaat bagi sesama, bahkan malah bisa berpotensi menjadi masalah(trouble
maker). Orang pintar yang tidak baik bisa berpotensi merugikan orang lain.
Sederet contoh kasus dalam hal ini, kasus para pejabat korup, kebohongan
publik, mafia dan seterusnya. Adapun tipe orang baik yang tidak pintar dan
tidak paham, berpotensi dimanfaatkan, dirugikan, atau bahkan dianiaya pihak
lain. Wallahu a’lam. ( Ust. H. Ahmad Yani, Lc. MA / IKADI )
0 komentar :
Post a Comment