Saat ini banyak orangtua yang ingin anaknya dapat membaca,
menulis dan berhitung (calistung) sejak usia dini. Padahal, menurut para ahli
hal itu dapat merusak tatanan otak anak.
Seorang pakar tumbuh kembang anak dari Universitas
Airlangga, DR Dr Ahmad Suryawan SpA(K), bahkan menghimbau kepada para orang tua
untuk tidak mengajarkan calistung sebelum sang anak masuk ke Sekolah Dasar (SD)
atau berumur tujuh tahun.
Menurutnya, mengajarkan anak calistung sebelum waktunya
dapat merusak tatanan otak anak, dalam artian anak dalam mengerjakan sesuatu
tidak runtut atau selaras. Seharusnya anak yang berumur di bawah tujuh tahun
bisa membentuk garis lurus, menggaris, membentuk gambar bangun sederhana dan
sebagainya. Sayangnya, pada masyarakat modern saat ini, anak belum tentu bisa
menggambar garis lurus malah sudah belajar menghitung.
Anak memang bisa pintar karena bisa calistung sejak dini,
tapi perilakunya tidak runtut dalam menyelesaikan suatu persoalan. Hal itu
karena sirkuit di otaknya tidak ‘by order’. Anak akhirnya tidak mengerti
urutan.
Terdapat dua kemungkinan bagi anak yang sudah dikenalkan
calistung sejak dini. Pertama, bisa calistung karena mengerti caranya dan kedua,
anak tersebut bisa karena menghapalkan caranya.
Kemungkinan pertama bahwa anak mengerti caranya yaitu anak
itu tahu kalau empat dikali empat sama dengan 16, kalau 16 itu didapat dari
empat sebanyak empat kali. Adapun kemungkinan kedua, anak tersebut hapal kalau
empat kali empat tersebut 16.
Pandangan orang tua saat ini menjadi salah kaprah disebabkan
oleh cara menilai prestasi anak yaitu melihat dari hal yang berbau matematika
atau akademik dan melupakan prestasi nonakademik. Itulah sebabnya di sejumlah
kota besar di Tanah Air marak muncul kursus les membaca yang diperuntukkan bagi
anak-anak yang masuk dalam kategori Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Sebenarnya Calistung boleh saja dikenalkan pada anak usia
PAUD, tapi tidak boleh jadi evaluasi prestasi. Pengenalan Calistung Program
yang tepat pada anak usia PAUD adalah melalui pengenalan calistung, namun hal
itu bukan berarti anak belajar calistung sepenuhnya.
Anak mengenal calistung melalui interaksi dan cara
menyenangkan, bukan duduk manis mendengarkan guru mengajar. Contohnya ialah ada
sepuluh anak, namun gelas yang ada hanya delapan, dengan demikian otomatis dua
anak tidak mendapatkan gelas.
Sebelum anak memegang pensil, maka anak harus belajar
mencapit, setelah tangan anak tersebut kuat baru diberikan pensil yang
ukurannya besar. Seperti halnya anak belajar berbicara juga seperti itu mulai
‘mama, mama pergi, baru kemudian mama, ayo pergi’. Jadi tahap demi tahap.
Mungkin banyak dari orang tua kita zaman dahulu yang mendidik kita dengan cara
yang lebih sistematis. Namun, orang tua sekarang, anak tidak bisa membaca saja
marahnya seperti mau kiamat, padahal untuk membuat bayi tersenyum saja butuh
berapa bulan kita seperti orang gila, baru kemudian bayi bisa tersenyum.
Ini membuktikan bahwa ada yang salah dengan sistem
pendidikan di Tanah Air, yang mensyaratkan calistung sebelum masuk SD. Hal itu
akan membuat para orang tua khawatir dan akhirnya memasukkan anak ke les
calistung sebelum anak tersebut masuk ke sekolah dasar.
Sesungguhnya kualitas tumbuh kembang jangka panjang seorang
anak ditentukan oleh keseimbangan faktor resiko dan faktor protektif sejak usia
janin di dalam kandungan hingga usia 18 tahun. Maka menurut Psikolog anak Dr
Rose Mini, anak usia PAUD seharusnya hanya bermain, karena dengan bermain anak
bisa merasa senang. Aktivitas bermain yang dimaksud adalah bermain yang tanpa
beban. Jangan memaksa anak bermain sesuatu dengan harapan anak tersebut
bertambah pintar.
(fauziya/muslimahzone.com)
0 komentar :
Post a Comment