“Rahasiakan Allah dalam hatimu, sebagaimana engkau
merahasiakan cacat-cacatmu.” – Syeikh Abdul Jalil Mustaqim Qs
Ibnu Athaillah mengatakan, “Orang yang belum sampai dan
orang yang sudah sampai, tidak lain kecuali hanya sebagai derajat dalam
memanifestasikan hakikat melalui ketidakmampuan dirinya. Siapa yang sampai ke
suatu maqom, ia akan tak berdaya untuk sampai ke
maqom itu, maka sesungguhnya ia telah sampai (wushul pada
maqom tersebut).” Namun harus ditegaskan, yang dimaksud dengan “Tidak mampu”
yaitu, manakala muncul setelah ia fana’ secara hakiki, bukan “tak mampu” secara
metaforal (majazy), karena orang yang bodoh itu, ketidakmampuannya juga tampak
secara nyata, namun orang yang ‘arif ketidakmampuannya muncul secara
Jalaly-Rahmany (maksudnya ketidakberdayaannya muncul akibat memandang Sifat
Keagungan dan RahmaniyahNya). Berbeda jika ia tidak mampu memang karena
kebodohannya.
Maka bisa ditampakkan, bahwa:
Orang bodoh ketika bergerak dan terjadi, ia terjerembab
dalam kepentingan selera dirinya, sedangkan orang ‘arif tidak bergerak kecuali
untuk memenuhi hak kewajibannya.
Orang bodoh selalu berkhayal, orang ‘arif selalu meraih
kefahaman.
Orang bodoh selalu mencari ilmu, orang ‘arif selalu mencari
Sang Empunya Ilmu.
Orang bodoh mengikuti gambaran yang tampak secara lahiriyah.
Orang ‘arif memejamkan mata lahiriyahnya dan yang tampak pandangan ruihani
maknawinya.
Para murid dalam perjalanan ruhaninya, diharuskan menyimpan
rahasia ilmu, amal, hal, dan hasrat luhurnya. Jika ia mempublikasi pengalaman
ruhaninya, membuat keikhlasannya semakin minim. Apalagi jika ia mengungkapkan keikhlasannya,
itu menunjukkan betapa sedikitnya sikap benar bersama Tuhannya.
Banyak para penempuh bangga dengan pengalaman ruhaninya,
lalu ia mandeg dalam kepuasan dirinya, dan ketakjubannya.
Banyak para penempuh yang mengungkapkan kedalaman batinnya,
lalu ia kehilangan keikhlasannya.
Banyak para penempuh yang gembira dengan capaian hakikatnya,
padahal ia baru tahap proses awal perjalanannya.
Karena itu, benarlah ungkapan Syeikh Abdul Jalil Mustaqim
Qs, “Rahasiakan Allah dalam hatimu, sebagaimana engkau merahasiakan
cacat-cacatmu.”
Pengalaman Ilahiyah, biarlah menjadi rahasia diri anda, dan
biar Allah Swt saja yang Tahu. Karena pengalaman itu datangnya memang dari
Allah Swt, bukan dari dirimu, bukan dari amal dan maqommu.
Ibnu Atahaillah selanjutnya menegaskan:
“Janganlah engkau mengulurkan tanganmu untuk mengambil
sesuatu dari makhluk, kecuali anda melihat bahwa sang pemberi adalah Tuhanmu.
Jika anda mampu di posisi demikian, ambillah menurut batas keserasian (standar)
ilmu.”
Inilah etika sang penempuh, ketika menerima dan meminta
tolong pada sesama, perihal soal harta benda. Sang penempuh (murid) mesti
melihat bahwa sang pemberi adalah Allah Swt, bukan makhluk. Itu pun sebatas
kewajaran yang dibutuhkan seketika itu, menurut standar pengetahuan agama.
Para sufi melarang meraih harta berlebih, apalagi disertai
sikap rakus dan ambisi, penuh dengan cinta duniawi. Karena itu semua bisa
melahirkan cobaan.
Kisah berikut bisa jadi renungan kita. Ketika seorang Sufi
sedang mengundang jamuan makan para sahabatnya.
Pelayan acara itu terkejut dengan perilaku para undangan
pesta gurunya itu. Setidaknya sang pelayan mengamati ada tiga golongan tamu
yang datang dengan gaya dan etika berbeda-beda.
Kelompok pertama, dipersilakan makan oleh tuan rumah, tapi
tak kunjung makan juga, padahal makanan yang
disiapkan adalah kesukaan mereka, apalagi mereka kelihatan haus dan
lapar. Beberapa menit kemudian, tuan rumah menyilakan kembali pada tamu-tamu
itu, saat itulah mereka mulai mengambil hidangan makanan.
Kelompok kedua, tamu-tamu yang datang langsung dipersilakan
makan oleh tuan rumah. Dan seketika itu pula langsung disantap makanan yang ada
di hadapannya.
Kelompok ketiga, tamu yang datang belum dipersilakan oleh
tuan rumah sudah langsung mengambil makanan itu.
Tentu pelayan penasaran. Akhirnya ia bertanya pada gurunya,
atas perilaku para undangan tamunya itu. “Tanyakan saja pada mereka, kenapa
mereka begitu?” kata sang guru.
Sang pelayan menanyakan kepada mereka, alasan apa yang
membuat mereka berbeda-beda dalam merespon hidangan tuan rumah alias gurunya
itu.
Kelompok pertama menjawab, “Kami memang sangat lapar dan
dahaga, dan sangat bernafsu untuk segera melahap makanan kesukaan kami. Ketika
tuan rumah menyilakan nafsu kami semakin bertambah, namun kami terikat aturan
adab untuk tidak mengambil makanan karena dorongan nafsu. Saat itu selera nafsu kami tiba-tiba sirna, dan guru anda
tahu, kami sudah tidak berselera pada makanan hidangannya. Justru saat itulah
guru anda menyilakan yang kedua kalinya, dan kami pun makan hidangannya.
Sang pelayan melanjutkan, pertanyaan pada kelompok kedua.
Mereka menjawab, “Kami ini adalah tamu, dan posisi kami seperti mayit, jadi
ketika tuan rumah menyilakan makan, kami harus makan, suka maupun tidak.”
Si pelayan semakin penasaran, lalu ia bertanya pada kelompok
ketiga yang langsung menyantap makanan, tanpa dipersilakan lebih dulu. “Orang
yang mengenal Allah (‘arif) melakukan semauNya.”
Si pelayan terpana mendapat jawaban ketiga kelompok undangan
itu, sementara sang guru atau tuan rumah senyum-senyum saja.
Ini semua hanyalah ilustrasi mengenai adab dari para
penempuh maupun sang arif, yang erat hubungannya dengan soal mengambil atau mengulurkan tangan pada
harta, makanan atau apa pun dari makhluk.
Source : Sufinewsdotcom
0 komentar :
Post a Comment