Rendah Hati dan Ikhlas
Sosok ulama ini sangat rendah hati dan ikhlas. Dialah
KH.
Mohammad Hasan Genggong Probolinggo Jawa Timur.
Alkisah pada suatu malam, sepasang suami istri tidur
terlelap di rumahnya. Sang suami, bernama Kyai Syamsuddin sehari-hari bekerja
mencetak genteng, dijual untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya adalah
seorang ibu rumah tangga yang patuh namanya Khadijah. Malam itu Kyai Syamsuddin
bermimpi indah. Dalam mimpinya, beliau melihat istrinya merenggut bulan purnama
kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun.
Ketika terbangun, Kyai Syamsuddin bertanya-tanya apa makna
mimpinya itu. Beliau dan istrinya hanya bisa bermunajat kepada Allah Swt
berharap bahwa mimpi itu merupakan pertanda baik bagi mereka berdua. Kyai
Syamsuddin oleh masyarakat lebih akrab dipanggil dengan sebutan Kyai Miri dan
Nyai Miri. Waktu terus berlalu, lahirlah jabang bayi laki-laki yang
dinanti-nantikan itu. Tanggal 27 Rajab 1259 H, bertepatan dengan 23 Agustus 1843.
Oleh Kyai Miri, putranya itu beliau beri nama Ahsan. Ahsan bin Syamsuddin.
Ahsan tumbuh di bawah bimbingan ayah dan ibunya. Namun
kebahagiaan itu tak bertahan lama, karena sang ayah, meninggal dunia pada saat
Ahsan masih kecil. Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan
tersendiri dibandingkan saudara-saudara dan teman-teman sebayanya. Selain
ibunda, Ahsan juga dibimbing oleh seorang pamannya yang bernama sama dengan
sang ayah yaitu Kyai Syamsuddin.
Sebagai pribadi, Ahsan kecil memiliki sifat rendah hati,
ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada siapapun yang dijumpai. Dalam
bertutur kata Ahsan diajarkan untuk selalu berkomunikasi dengan bahasa madura
yang halus dan santun disertai dengan sikap yang lemah lembut pula.
Ahsan kecil belajar mengaji Al-Qur’an dan pengetahuan
keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi (putra pamannya) serta teman
masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kyai Syamsuddin. Pada dasarnya
memang Ahsan dan Asmawi adalah anak-anak yang cerdas. Selain cerdas, keduanya
juga rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, terlebih lagi pada ilmu
pengetahuan.
Ketika berusia 14 tahun, sekitar tahun1857 Ahsan dan Asmawi,
berangkat menuju ke Pondok Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong
ke pondok tersebut sekitar 70 km. Ahsan dan Asmawi sudah tentu berjalan kaki.
Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pondok yang diasuh KH. Mohammad Tamim
itu. Keduanya hidup sederhana di pesantren itu. Mereka juga gemar menabung.
Tabungan disimpan di kamar; ditempatkan di atas loteng.
Suatu ketika, Kyai Tamim berencana merenovasi bangunan
pondok. Biayanya cukup besar. Kyai Tamim akhirnya mengutarakan niat tersebut
pada para santri beliau, siapa tahu ada yang bisa membantu memberi pinjaman.
Setelah majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar. Simpanan uang yang
diletakkan di kamar mereka ambil tanpa dihitung terlebih dahulu. Mereka
menghadap Kyai Tamim untuk menyerahkan semua uang simpanan itu. Kyai Tamim
merasa terharu dan memanjatkan do`a kepada Allah Swt untuk keduanya.
NGAJI DI BANGKALAN
Selepas menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi
melanjutkan ngaji di pondok Bangkalan Madura. Dengan berjalan kaki, kemudian
menyeberangi laut, mereka berangkat Pondok Bangkalan Madura. Mereka mengaji
kepada Syaikhona KH. Mohammad Kholil. Saat itu tahun 1860/1861. Selama berada
di Madura, selain berguru pada Kyai Kholil, Ahsan sempat berguru pada Syeikh
Chotib Bangkalan dan juga KH. Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang
bernama Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan Syekh Maksum dari Sentong, desa
kelahiran Ahsan. Sangat disayangkan tidak ada penjelasan mengenai di mana dan
kapan Ahsan berguru kepada Syekh Nahrowi. Tidak diketahui juga kapan dan di
mana Ahsan berguru pada Syekh Maksum. Jadi persoalannya ialah kapan dan di mana
Ahsan berguru pada Syekh Nahrowi dan Syekh Maksum.
Selama tiga tahun berada di Bangkalan, suatu ketika Asmawi
ingin lebih memperdalam lagi ilmunya. Asmawi selalu bertanya-tanya, mengapa
Ahsan selalu lebih cepat menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya. Dalam
pikirannya Asmawi menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui
kecerdasannya oleh Asmawi. Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu
saja terlebih dahulu paham Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Tempat
tujuan itu hanya satu dan cukup jelas di pikiran Asmawi: Makkatul Mukarromah!
Tahun 1863, berangkatlah Asmawi sendirian menuju Makkatul
Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji di samping akan memperdalam ilmunya.
Girang benar perasaan Asmawi. Sementara di Bangkalan, Ahsan melepas keberangkatan
Asmawi dengan perasaan bangga memiliki saudara sepupu yang haus ilmu. Di hati
kecilnya, saat itu muncul pula keinginan untuk menyusul saudaranya itu ke
Mekkah. Namun waktu itu menyusul berangkat Asmawi adalah sesuatu yang sangat
sulit. Ahsan pun bermunajat pada Allah Swt memohon agar dapat menyusul
saudaranya itu.
Tidak lama setelah Asmawi berangkat, Ahsan dipanggil pulang
ke Sentong oleh sang ibunda. Ibunda menasehati, jika hendak ke Mekkah, maka
Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke Bangkalan.
Pilihan itu memang sulit. Ahsan pun melakukan istikharah (mohon petunjuk)
kepada Allah Swt. Dari istikharah itu, Allah memberikan satu petunjuk dengan
suatu kalimat yang ditampakkan pada Ahsan. Isinya adalah kalimat If`al Laa Taf`al
(kerjakan dan jangan kerjakan).
Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa
bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan tidak bekerja adalah sama
saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap terlaksana jika
Allah menghendaki. Atas kesimpulan itu, Ahsan memilih untuk meneruskan mondok
saja. Akhirnya Ahsan kembali menuju ke Bangkalan.
Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap kepada Kyai
Kholil untuk mengadukan hal tersebut sekaligus memohon doa kepada Kyai Kholil,
supaya Allah segera mentakdirkan keberangkatannya ke tanah suci dan terlaksana
dengan mudah. Kyai Kholil pun mendo`akan niat dan harapan itu. Selanjutnya
Ahsan kembali melakukan aktifitasnya sebagai santri.
Selang beberapa waktu, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk
pulang lagi. Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup
tersedia, meski hanya cukup untuk ongkos perjalanan saja. Namun karena
kegigihan dan bulatnya tekad Ahsan, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya
tersebut. Ahsan pun berpamitan pada ibundanya dan Kyai Kholil. Ahsan berangkat
ke Mekkah sekitar tahun 1864.
Di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul saudaranya, Asmawi.
Asmawi gembira mendapati saudaranya juga ditakdirkan oleh Allah juga tiba untuk
menuntut ilmu di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun hati kecilnya
mengatakan bahwa ia akan kembali kalah dalam menerima ilmu pengetahuan kepada
Ahsan. Asmawi yang tiba lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah,
selang beberapa hari setelah Ahsan tiba kemudian mengajak Ahsan untuk bertamu
pada salah satu temannya yang bernama Abdul Qohar.
Setelah bertemu ternyata oleh Asmawi keduanya dipertemukan
untuk ber-mujadalah (debat). Berlangsunglah mujadalah itu dan hasilnya semua
persoalan mujadalah dapat diselesaikan dengan baik oleh Ahsan. Lawan debatnya
mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan. Di tengah perjalanan pulang, Ahsan
bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya
menguji kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang
musyawarah.
Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang memiliki kemampuan
yang luar biasa, namun perdebatan itu masih belum cukup untuk membuktikan hal
tersebut. Akhirnya Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk ber-mujadalah. Kali ini
dengan seorang keturunan Magrabi yang telah bermukim di Mekkah selama 40 tahun,
dia seorang ulama yang alim di Mekkah. Ahsan yang memang tidak pernah
berprasangka buruk pada siapapun menurut saja ketika dirinya diajak bertamu
pada ulama tersebut dan tidak mengetahui maksud pertemuan itu. Seperti
pertemuan dengan orang sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan
mujadalah.
Pertemuan yang dimulai sejak pagi setelah sholat dluha itu
berlangsung jam demi jam hingga berlangsung hingga waktu sholat Dluhur, dan
berjamaahlah mereka bertiga. Setelah sholat, mujadalah kembali berlangsung.
Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama
itu dijawab dengan baik oleh Ahsan. Dalam hatinya ulama itu mengakui kecerdasan
Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan hendak mengajukan pertanyaan untuk dijawab
oleh sang ulama lawan debatnya, namun tak dapat dijawab. Serta merta ulama
tersebut berkata, ”Sungguh dia adalah pemuda yang benar-benar ’alim!”
Ahsan kemudian meminta kakandanya itu tidak lagi
mempertemukan Ahsan dengan orang-orang jika tujuannya adalah mujadalah. Demi
mendengar permintaan itu, Asmawi kemudian berjanji tidak akan mengulangi hal
tersebut.
Ahsan kemudian berguru pada beberapa orang syekh terkemuka
di Mekkah di samping pada beberapa orang ulama Indonesia yang bermukim.
Guru-guru mereka selama menuntut ilmu di Mekkah adalah KH. Mohammad Nawawi bin
Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid
Mohammad Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh
Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-Habsyi. Nama terakhir ini
adalah guru Ahsan ketika sempat bermukim di Madinah.
Sejak kecil Ahsan dan Asmawi memang mempunyai tanda-tanda
bahwa keduanya memiliki keistimewaan yang akan berguna bagi masyarakat suatu
saat nanti. Kelak hal itu benar-benar terbukti, masyarakat tidak lagi memanggil
dua orang itu dengan nama Ahsan dan Asmawi. Masyarakat telah mengenal dua orang
tokoh dan ulama besar itu dengan nama KH. Mohammad Hasan Genggong dan KH.
Rofi’i Sentong.
Selama berguru sejak kecil hingga berada di Mekkah, Ahsan
memiliki banyak sahabat. Selain Asmawi, banyak lagi sahabat-sahabat lainnya
seperti KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH.
Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH.
Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa`id
Poncogati Bondowoso, Kyai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kyai Dachlan
Sukunsari Pasuruan, dan Habib Alwie Besuki.
Setelah pulang ke tanah air, Ahsan kemudian berganti nama
Kyai Haji Mohammad Hasan. Ia kemudian menikah dengan putri KH. Zainul Abidin
yang bernama Nyai Ruwaidah. Sejak pernikahan inilah KH. Mohammad Hasan membantu
mertuanya dalam membina pesantren. Beliau mengembangkan sistem pendidikan
pesantren salafiyah (tradisional) dengan metode pembelajaran dan pendidikan
klasikal.
KH. Mohammad Hasan dikenal sebagai salah satu Mursyid
Thariqah Tijaniyah, sebuah thariqah yang berasal dari daerah Tijani, Maroko.
Sekalipun thariqah ini sempat diperdebatkan diperselisihkan oleh sebagian ulama dan habaib Jawa Timur, karena keterkaitan
sanadnya melalui mimpi bertemu Rasulullah Saw. Akhirnya melalui berbagai forum,
Thariqat Tijaniah disahkan sebagai salah satu Thariqah yang diakui dan menjadi
thariqah yang muktabar (sah mempunyai keterkaitan sanad) bersambung sampai
Rasulullah Saw. Saat ini Mursyid Thariqah Tijaniyah diampu oleh KH Soleh
Basalamah, Ponpes Darussalam, Jatibarang, Brebes-Jawa Tengah.
Beliau menjadi pengasuh pesantren cukup lama, sejak wafatnya
KH. Zainul Abidin tahun 1890-1952 M. KH. Mohammad Hasan wafat pada malam Kamis,
jam 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374
h/01 Juni 1955 M dan dimakamkan di komplek Ponpes Genggong, Probolinggo,Jawa
Timur. Saat ini Ponpes Genggong diasuh oleh KH. Mohammad Hasan Mutawakkil
Alallah, yang juga dikenal sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul ’Ulama
(PWNU) Jawa Timur.
(***)Aji Setiawan (sufinewsdotcom)
0 komentar :
Post a Comment