Bangun Sugito Tukiman, adalah
salah satu nama dari sekian juta penduduk negeri ini yang terhipnotis oleh
musik rock (barat). Figur The Rolling Stones, dengan lead vocal-nya Mick
Jagger, menjadi idola remaja yang lahir di kota Biak dan besar di kota Bandung
ini. Bahkan aksi nekatnya di tahun 1967, memmembuat kota Bandung gempar, ketika
dirinya yang mendapat cap “Siswa Bengal” termasuk salah satu siswa yang lulus
dari SMA-nya, melakukan aksi tanpa busana sambil naik sepeda motor mengelilingi
kota kembang tersebut. Kesukacitaannya dilampiaskan dengan gaya ala rocker,
maklum, daftar kenakalannya lebih panjang dari daftar absen murid, sehingga ia
tak yakin jika namanya akan tertulis di papan pengumuman seperti teman-temannya
yang lulus (tempointeraktif.com).
Selepas SMA, di kota yang sama,
Bangun Sugito Tukiman (vokal) bersama rekan-rekannya, Teuku Zulian Iskandar
Madian (saxophone, gitar), Benny Likumahuwa (trombone, flute), Didiet Maruto
(trumpet), Jimmie Manoppo (drum), dan Oetje F. Tekol (bas) mendirikan band yang
bernama The Rollies. Di era 1970-an, The Rollies semakin eksis dan menunjukkan
taringya sebagai grup band rock handal di tanah air. Belakangan, setelah sukses
dengan beberapa hits yang sempat bertengger di belantika musik Indonesia,
namanya pun berganti menjadi Gito Rollies. Waktu terus berjalan, anak tangga
karir perlahan-lahan ditapaki satu demi satu. Sanjungan dan pujian, memmembuat
dirinya telah merasa menjadi seorang Mick Jagger Indonesia, sosok yang dikagumi
dan diidolakannya.
Pria yang sempat mengenyam kuliah
dua tahun di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), terus larut
bersama kebesaran The Rollies. Aksi panggungnya mirip dengan sang idola, suara
serak ala James Brown, bapak moyang soul dan funk, menjadikannya pusat
perhatian. Kesuksesan di panggung telah mengantarkan diri dan kelompoknya di
industri rekaman, pun mengantarkannya menjadi hedonis sejati.
“Tiap Jumat siang kami berangkat
ke daerah Puncak Bogor untuk pesta miras dan narkoba,” Ungkap Gito dengan nada
sesal.
Di masa ketenarannya, pada awal
tahun 1980, ia menjalin hubungan intim dengan putri seorang aktor dan komedian
besar, Uci Bing Slamet, dan darinya dikaruniai seorang anak lalu berpisah
setelahnya. Bahkan setelah menikah dengan perempuan impor, wanita keturunan
Belanda, Michelle Van der Rest, tahun 1983, ia masih belum bisa melepaskan diri
sepenuhnya dari pengaruh narkotika (AntaraNews).
Setelah bersolo karir, dia
menelorkan sejumlah album solo, yakni Tuan Musik (1986), Permata Hitam/Sesuap
Nasi (1987), Aku tetap Aku (1987), Air Api (1987) dan Tragedi Buah Apel (1987)
dan Goyah (1987).
Sebagai aktor Gito memulai
debutnya di dunia film lewat Buah Bibir (1973) sebagai figuran. Setelah
benar-benar menjadi aktor ia bermain dalam Perempuan Tanpa Dosa (1978), Di
Ujung Malam (1979) dan Sepasang Merpati (1979), dan Permainan Bulan Desember
(1980), dan Kereta Api Terkahir (…). Namun kekuatan aktingnya terlihat pada
Janji Joni yang mengantarkannya meraih piala Citra untuk kategori Aktor Pembatu
Pria Terbaik pada Festival Film Indonesia tahun 2005.
Awal Kesadaran
Tahun 1995, atau tepat setelah 10
November, Sang Rocker baru benar-benar berhenti mengkonsumsi drugs dan alkohol,
setelah mengalami sebuah peristiwa yang memmembuatnya shock lahir batin.
Sepulang dari konser Hari Pahlawan di Surabaya, di bawah pengaruh narkoba,
selama tiga hari ia mengalami fly, tak bisa makan dan tak bisa tidur, dan
selama tiga hari itu semua kelakuannya di masa lalu seperti diputar di depan
mata. “Saya takut sekali,” ujarnya seperti diungkap kepada koran Tempo. Namun
yang paling memmembuatnya ciut justru menyangkut segala omongan yang pernah
terlontar dari mulutnya. Fitnah dan gunjingan terhadap musisi lain, termasuk
melakukan ghibah (membicarekan kejelekan orang lain).
Pengalaman tiga hari itulah yang
menjadi titik balik dirinya untuk kembali kepada Allah. Khabar tentang
kekuasaanNya, telah diwartakan ke segenap penjuru bumi kepada seluruh manusia,
hanya saja tidak banyak orang yang menyadarinya, “Dan di bumi itu terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada
dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (QS. Adz-Dzaariyaat, 51
: 20-21).
Jika seseorang memperhatikan
tanda-tanda itu, dan Allah SWT telah membukakan jalan masuk untuk memahami,
tentu tidaklah sulit. Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Hai manusia,
sesungguhnya (bencana) kelalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil
kelalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah
kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.
Yunus, 10 : 23).
Bisa jadi peristiwa yang ia
alami, karena Allah hendak mengabarkan hal itu kepadanya sebagai kesempatan
untuk memperbaiki diri. Di usia kepala empatnya, seorang Gito Rollies
diingatkan Allah SWT melalui sebuah peristiwa spiritual yang memmembuatnya
bergidik ketakukan. Nyalinya ciut, gemetar badannya, kekuatan musik cadas tak
mampu menyangga hatinya yang terkoyak kala tanda-tandaNya telah diterima saat
dirinya fly. Kesadaran bathinnya bergolak untuk bangkit dari masa-masa kelam
yang telah mengotori jiwanya.
Sang Rocker kini dalam kesadaran
awal setelah puluhan tahun terlelap bersama kesuksesan, polularibeg, dan
kenikmatan duniawi. “Saya harus hijrah, bukan ini tujuan saya dilahirkan ke
muka bumi, tetapi ada tugas lain yang harus saya lakukan sebagai bekal
pertemuan dengan Sang Pemilik jiwa ini,” ujar hati itu berkata lirih.
Hatinya telah terbuahi cintaNya
yang tulus dan suci sehingga sang hati sejati berkata, “Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf, 12 : 53).
Sebelum merasakan ke-Mahaan Allah
dalam dirinya, Bangun Sugito hidup dalam serba kecukupan. Bergelimang
kemewahan, bergiat dalam kehidupan malam, bertemankan jarum neraka. Begitulah
hari demi hari yang dilalui seolah pakaian yang tak pernah lepas dari badannya.
Bahagiakah hidup seperti itu?
Mendatangkan ketenangankah semua itu? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab,
sebuah rasa yang belum pernah ada dan sebuah keinginan yang belum tercapai.
Pada akhirnya semuanya hanya menghantarkannya ke alam risau, resah dan gelisah.
Klimaks terjadi kala ia merayakan
ulangtahunnya yang ke-50 pada 1997. Di situ, Gito mengundang seluruh karibnya
untuk berpesta alkohol dan obat sepuasnya.
Dalam kerisauan panjang, beriring
desah dan keluh kesah, daerah Puncak Bogor –Puncak dikenal sebagai tempat
rekreasi di daerah Jawa Barat– selalu menjadi tempat menumpahkan penat,
mengubur kegundahan yang membuncah. Wal hasil bukan ketenangan yang didapat
bahkan gelisah itu makin menjadi. Namun dari daerah inilah benih hidayah itu
mulai mekar membesar. Puncak menjadi tempat bersejarah, tempat solusi menjawab
segala kerisauan.
Saat itu hari Jumat siang. Pria
dengan rambut awut-awutan ini masih memegang botol miras, duduk di tempat yang
tinggi sambil sesekali memandang ke arah bawah. Pandangannya tertuju kepada
beberapa warga desa yang banyak menuju mesjid, hatinyapun bergetar,
kerisauanpun kembali mengusik hati.
Mereka dengan kesahajaan bisa
menemukan kebahagiaan. Apakah di Masjid ada kebahagiaan?!” Pertanyaan itu
selalu mengusik Gito.
Sungguh pemandangan indah di hari
Jumat itu, memberi arti tersendiri bagi kehidupan Gito Rollies. Sulit dibedakan
keterusikan karena sekedar ingin tahu atau ini adalah awal Allah membukakan
hatinya bagi pintu tobat.
Dicobanya untuk mendekati Masjid
itu, subhanallah, seperti ada magnit yang memendekkan langkahnya untuk tiba.
Mungkin di sana ada kebahagiaan. Terlihatlah sebuah pemandangan yang
meluluhlantakan kegelisahannya selama ini.
“Rasanya seluruh otakku tiba-tiba
dipenuhi oleh kekaguman. Dan entah kenapa, aku seperti mendapatkan ketenangan
melihat orang-orang ruku, sujud dalam kekhusuan,”
“Bukankah apa yang kulakukan
selama ini untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenapa tidak? Ya, aku telah
bergelut dengan kesalahan dan tetek bengeknya yang semuanya adalah dosa.
Benarkah Allah tidak akan mengampuni dosaku? Lanbeg membuat apa aku hidup jika
jelas-jelas bergelimang dalam ketidakbahagiaan.” Pikiran itu terus bergelayut
seakan haus jawaban.
“Malam itu aku benar-benar tidak
dapat memejamkan mata. Aku gelisah sekali. Ya, ternyata aku yang selama ini
urekan, permisive ternyata masih takut dengan dosa dan neraka. Berhari-hari aku
mengalami kegelisahan yang luar biasa. Hingga suatu malam, di saat
kegelisahanku mencapai “puncaknya”, aku memutuskan untuk memulai hidup baru.
“Selama hidupku, baru kali ini
aku diliputi suatu perasaan yang belum pernah aku rasakan semenjak mulai
memasuki dunia selebritis. Maka, aku pun segera berwudlu dan melakukan shalat.
Ketika itu, untuk pertama kalinya pula aku merasakan kebahagiaan dan kedamaian.
Dan sejak hari itu, aku memutuskan untuk tekun memperdalam agama sekalipun masih
banyak sekali tawaran-tawaran menggiurkan yang disodorkan kepadaku atau pun
beragam ejekan dari sebagian orang. Aku pun melaksanakan haji seraya berdiri
dan menangis di hadapan ka’bah memohon kepada Allah kiranya mengampuni
dosa-dosa yang telah aku lakukan pada hari-hari hitamku.”
Ketika mentari terbit, Gito
langsung mengajak istrinya untuk pergi ke Bandung, menjenguk sang ibunda. Di
sana, ia mengutarekan niatnya untuk tobat yang disambut tangis haru sang ibu.
Sejak saat itu, Gito resmi meninggalkan dunia kelam.
Satu yang disyukuri Gito adalah,
dukungan dan kesabaran sang istri, Michelle, yang tak pantang habis.
“Saat aku sudah belajar agama,
aku tidak berupaya menyuruhnya shalat. Ia tiba-tiba belajar shalat sendiri,
begitu juga anak-anak. Suatu hari, ketika aku pulang, tiba-tiba aku
mendapatinya tengah mematut diri di depan kaca sambil mengenakan jilbab.
Padahal aku tidak pernah menyuruhnya. Subhanallah, istriku memang yang terbaik
yang pernah diberikan Allah,” kata ayah dari empat putra ini.
Tobatnya Gito juga disyukuri oleh
sang mertua, warga negara Belanda yang berimigrasi ke Kanada. Meski berbeda
keyakinan, ibu mertuanya justru senang dengan perubahan yang dialami Gito.
“Kata beliau, aku jadi lebih
kalem ketimbang dulu, meski sekarang pakai jenggot segala. Bahkan aku jadi
menantu favoritnya lho,” tuturnya sambil terkekeh.
“Mengapa Allah memberikan hidayah
kepada diriku yang kerdil ini? Mengapa Allah menciptakan makhluk yang penuh
dosa ini?”
Gito mengaku harus merenung lama
untuk menemukan jawaban itu. Setelah dia menjalankan shalat dan menunaikan
haji, jawaban itu baru mampir di benak dan pikirannya. “Ternyata, Allah
menciptakanku untuk menjadi manusia baik. Semula mengikuti idolaku, Mick
Jagger. Aku menjadi penyanyi dan rekaman lalu mendapat honor. Tapi itu bukan
kebahagiaan sepenuhnya membuatku.”
“Mick Jagger itu dulu menjadi
idolaku. Ikut mabok, main cewek, dan seabrek dunia kelam lain. Tapi sekarang
aku mengidolakan Nabi. Dan sekarang, aku menemukan nikmat yang tiada tara.”
Kalimat itu meluncur dengan lugas
dari Gito Rollies, artis ndugal yang kini memilih ke pintu pertobatan.
Penampilan Gito tak lagi urekan dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel.
Bukan pula pelantun lagu-lagu cadas yang berjingkrak-jingkrak tidak keruan.
“Aku sudah mendapatkan banyak hal
di dunia ini. Sekarang saatnya mengumpulkan amal untuk persiapan menghadapi
hari akhir ,” katanya ketika memberi testimoni tentang perubahan dalam
hidupnya.
Setelah mengalami pengalaman
rohani, dirinya mulai banyak bergaul dengan kalangan ulama, mengaji, serta
mempelajari Al-Qur’an dan Hadits secara mendalam. Perlahan-lahan Allah SWT
tanamkan pemahaman arti hidup sebenarnya. Sang Gito Rollies merasa telah
menemukan hujjah yang mendasari hidupnya. “Dulu saya suka Mick Jagger, saya bahagia
kalau populer. Ibaratnya, dulu tuhan saya adalah popularibeg. Nabi saya adalah
para idola saya, dan rocker-rocker luar negeri, sekarang saya begitu mencintai
Nabi Muhammad SAW dan ajaran-Nya,” ujarnya.
ALLAH MAHA BESAR, demikian
kira-kira satu ungkapan yang cocok dialamatkan kepada legenda musik rock
Indonesia tersebut. Ketika Gito memutuskan berputar haluan 180 derajat dari
dunia rocker yang hingar bingar menuju kehidupan Islami yang sarat dengan
dakwah, banyak sahabat yang kaget, seolah tak percaya. Apalagi bagi sahabat
yang sangat mengenal Gito, rasa-rasanya “mustahil” ia berubah seperti itu.
Dengan kata lain, apa yang dilakukan Gito ketika itu adalah “aneh bin ajaib”.
Apalagi jika membandingkan gaya hidup dan penampilan Gito dulu yang
“compang-camping” ala rocker, berubah menjadi seorang yang sangat Islami.
Bahkan pakaian sehari-harinya pun bukan celana jins robek lagi, melainkan
pakaian gamis lengkap dengan peci, layaknya umat Islam.
Dakwah dan Tabligh
Tidak ada yang tidak mungkin
selain mengecat langit! Demikian kira-kira perumpamaan yang sedikit nyeleneh
untuk mengungkapkan fenomena hijrahnya Gito Rollies ke dunia dakwah. Sejak 1997
ia mulai menapaki “karir” dalam dunia karkun Jamaah Tabligh (pekerja dakwah
yang rela mengorbankan harta dan kehidupan dunia semata-mata untuk berdakwah di
jalan Allah). Selama rentang waktu 1997-Februari 2008 ini, Gito telah malang
melintang keliling Indonesia untuk menyebarkan dakwah kepada umat Islam.
Berpindah dari mesjid satu ke mesjid lainnya.
”Awalnya, saya hanya melihat
orang-orang yang pergi ke masjid dan belum menunaikan shalat, meskipun saya
beragama Islam. Selanjutnya saya beranikan diri masuk ke rumah Allah itu. Wah,
kali pertama rasanya malu sekali dan menakutkan tempat itu. Lama-lama Allah
berkenan memberikan hidayah kepada saya,” ungkap Gito semasa hidup. Hal itu ia
ungkapkan seraya mengenang awal mula kembali ke jalan Allah. (dikutip dari
suaramerdeka.com. Berita Edisi 17 April 2004. Diakses Sabtu, 01 Maret 2008)
Khuruj fi Sabilillah (pergi ke
luar rumah/kampung halaman) semata-mata untuk senantiasa memperbaiki iman dan
ketakwaan bagi dirinya sendiri dan seluruh umat, diputuskan Gito sebagai jalan
hidup. Seorang artis ibukota dalam salah satu siaran televisi Nasional
mengungkapkan suatu pernyatan Gito yang mengharukan sekaligus membahagiakan,
“Gito dulu pernah berkata kepada saya, bahwa ia ingin mati di panggung sebagai
seorang rocker. Tapi suatu saat ia justru berubah pikiran. Gito bilang ia ingin
mati di panggung, tapi bukan sebagai rocker melainkan saat berdakwah,”
ungkapnya dengan nada haru dan berlinang air mata, seraya menjelaskan bahwa
keinginan Gito tersebut dikabulkan Allah lewat jalan lain, yaitu Gito meninggal
sesampainya di Jakarta setelah beberapa hari melaksanakan dakwah khuruj fi
sabilillah di Padang, Sumatera Barat.
Demikian pula Da’i kondang Arifin
Ilham, kepada wartawan, sembari tak kuasa menahan air mata, ia mengungkapkan
bahwa Gito Rollies adalah teladan bagi umat. Ia juga mengungkapkan semasa hidup
Gito telah berjuang di jalan Allah dengan membawa misi dakwah, meskipun
penyakit yang diderita Gito cukup berat.
Luar biasa memang sosok Gito,
penyakit nan ganas, kanker kelenjar getah bening yang telah ia derita sejak
beberapa tahun lalu (ia bahkan pernah dirawat di Singapura), tidak menyurutkan
semangat dakwahnya. Bahkan, dengan berkursi roda, ia tetap semangat mengumbar
dakwah dari mesjid ke mesjid.
Berdakwah Di Kalangan Artis
Toh, meski sudah berada di jalan
Allah, Gito tak pernah merasa dirinya yang paling benar. Ia selalu menolak jika
disebut kyai, atau diminta untuk berceramah. Menurutnya, ia hanyalah orang yang
masih terus belajar agama. Apapun yang diucapkannya di depan umum adalah
upayanya berbagi cerita.
Bahkan, Gito masih merasa belum
cukup bertobat hingga akhir hayatnya. Tak pernah sekalipun ia merasa
dosa-dosanya telah terhapuskan. Dalam suatu pengajian ia sempat bertanya kepada
ustadz yang berceramah, apakah dosa-dosanya di masa lalu bisa berkurang dengan
permembuatannya saat ini.
Ia pun berdakwah di kalangan
artis, baik penyanyi maupun bintang film. Allah seolah telah mengirim seorang
utusan dari kalangan mereka sendiri, komunibeg yang sangat rentan terhadap
segala bentuk kemaksiatan, seperti minuman keras, narkoba, bahkan seks bebas.
Profesinya sebagai artis didayagunakan untuk syi’ar agama Allah, mengajak
mereka dengan cinta kasih, tidak pernah memaksa, bahkan tidak merasa dirinya
paling baik dan paling benar. Baginya, teladan lebih utama dari sekedar
retorika religi belaka.
Penbeg musik dengan beberapa
kelompok band muda terus dijalani. Bedanya, penbeg kali ini tanpa alkohol dan
drugs serta menyelipkan syi’ar Islam di setiap penampilannya. Juga di balik
layar lebar, film-film bertema religius sanggup dilakoni dengan satu semangat,
yaitu menggemakan ajaranNya yang dibawa oleh Baginda Rasulullah. “Lalu Kami
utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata) :
Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain dariNya.
Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya).” (QS. Al-Mu’minuun, 23 : 32).
Beberapa tahun belakangan, orang
mulai memanggilnya Ustadz Gito, meski ia menolak panggilan itu. Banyak kalangan
artis yang tersadarkan setelah menyimak penuturan pengalaman hidupnya. Teladan
dan ucapannya yang lemah lembut memmembuat semakin banyak orang yang simpatik
dengan isi dakwah, syi’ar yang diangkat dari pengalaman pribadinya. Ia pun
sempat mendaur ulang album lawasnya, Cinta yang Tulus, bukan lagi tema cinta
antara sepasang manusia tetapi antara makhluk dan Khalik.
Kini Kang Gito telah berubah,
masa lalu memang tidak mungkin terhapus dari diary-nya, dan akan menjadi
catatan sejarah panjang. Tetapi itulah kehidupan, segalanya belum titik, tapi
masih koma. Dan baru mencapai titik bila ajal menjemput. Jalan hidupnya
mengingatkan kita pada sosok Cat Stevens yang pernah tersandung sebuah kejadian
luar biasa, lanbeg banting setir ke arah tidak terduga setelah selamat dari
gulungan ombak besar di pantai Hawaii. Cat Stevens meninggalkan agama lamanya
dan dunia yang memungkinkan segalanya kecuali spiritualibeg. Ia pun berganti
agama dan namanya dengan jati diri yang baru, yaitu Yusuf Islam. Gito Rollies
tidak perlu ganti nama, namun dirinya bermetamorforsis menjadi hambaNya yang
memahami tujuan hidupnya serta berusaha menjadi bermanfaat bagi orang lain walaupun
harus berceramah di abeg kursi roda dan melawan penyakit kanker getah benih
yang menderanya sejak 2005.
Wafat Dengan Tersenyum
Perjalanannya terhenti pada pukul
18.45 WIB, Kamis (28/02), setelah Sang Rocker menghembuskan nafasnya yang
terakhir. “Beliau meninggal setelah melakukan shalat Maghrib dan melakukan do’a
terakhir,” ujar rekan artis yang turut melayatnya. Dua belas tahun lebih di
sisa usianya dihabiskan untuk melayani dan mengajak orang lain melakukan
kebaikan. Sakitnya tidak begitu dirasakan, bahkan pada akhirnya beliau nikmati
sebagai peluntur sisa-sisa kekotoran dirinya dan menjadi musabab kematiannya.
Ia tersenyum saat Sang Malaikat
maut mengepakkan sayapnya dan hadir di hadapannya untuk mencabut nyawa sang
Rocker. Ikhlas menerima takdirNya, melepaskan segala bentuk atribut
keduniawian. Kekelaman hidup terbayar tunai dengan amal permembuatan, dan
senyum itu semakin menyeringai di wajahnya kala sang Malaikat perlahan-lahan
mengambil ruh milikNya. Sehingga beliau masih mempunyai waktu untuk melafalkan
lafadz tauhid. Dan sang Rocker pun meninggalkan dunia fana ini dengan rasa puas
dan merasa tenang. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan
masuklah ke dalam surgaKu.” (QS. Al-Fajr, 89 : 27-30).
Insya Allah, beliau meninggal
dalam keadaan khusnul khatimah. Mudah-mudahan peristiwa ini memotivasi kita
semua untuk bisa bermembuat sebaik-baiknya, dan memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi kita di sisa umur yang tidak lama lagi. Tiada pernah
terucap kata putus asa, karena Dia pasti akan mengampuni segala kesalahan dan
dosa-dosa hamba-hambaNya, karena Kasih SayangNya bak Samudera Tak Bertepi.
Semoga kita termasuk orang-orang yang berakhir hidup dengan jiwa yang
muthmainnah, sebagaimana mereka yang terpilih.
Gito menigggalkan seorang isteri
bernama Michelle dan lima anak, yakni Galih Permadi, Bintang Ramadhan, Bayu
Wirokarma, dan Puja Antar Bangsa.
Sebaik-baik usia tiap orang
adalah pada penghujungnya. Dan ketahuilah, bagi kita, ujung-ujung usia akan
selamanya menjadi misteri, karena seringkali di sanalah Allah memberikan
kesudahan yang indah dari perjalanan taubat hamba-Nya.
Thanks to : karqun.blogspot.com
0 komentar :
Post a Comment